Sindrom Cornelia merupakan salah satu penyakit langka pada bayi baru lahir. Kelainan ini terjadi akibat mutasi genetik pada setidaknya 5 gen, yaitu NIPBL, SMC3, RAD21, SMC1A, HDAC8, saat proses pembuahan di dalam kandungan.
Kondisi langka ini hanya terjadi pada 1 dari 30.000 kelahiran. Di Indonesia, jumlah pengidap Sindrom Cornelia diperkirakan mencapai 160 orang.
Anak dengan Sindrom Cornelia memiliki karakteristik fisik yang khas, seperti alis tebal melengkung yang kerap bertemu di tengah (synophrys), lingkar kepala kecil (mikrosefali), malformasi tangan dan lengan, banyak bulu tumbuh di sekitar wajah, dahi dan punggung, serta lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Ciri-ciri lainnya termasuk hidung pendek, bibir kecil dan sumbing. Beberapa kasus anak Sindrom Cornelia juga memiliki ciri kelebihan atau kehilangan jari dan bahkan kehilangan lengan bagian bawah, serta bentuk tangan dan kaki sangat mungil dengan jari-jari yang pendek.
Selain itu, ada pula kasus dengan ciri kelainan pada organ tubuh seperti kejang, cacat jantung, gangguan pernapasan, gangguan pendengaran, dan rabun jauh. Ada pula anak Sindrom Cornelia yang mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kognitif dengan IQ berkisar 30 hingga 102.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua anak dengan Sindrom Cornelia mengalami semua ciri-ciri tersebut. Ciri-ciri itu tergantung pada variasi dan tingkat keparahan penyakit.
Kelainan langka ini tidak diturunkan dan tidak menular, sehingga kasus ini dapat terjadi pada siapapun tanpa ada riwayat penyakit pada keluarga.
Hingga saat ini, penyebab pasti Sindrom Cornelia belum diketahui dan diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Hal ini seringkali berakibat pada keterlambatan penanganan.
Menyadari hal tersebut, Wamenkes Dante menekankan pentingnya pengobatan yang cepat dan tepat bagi anak-anak dengan Sindrom Cornelia. Apalagi, anak dengan Sindrom Cornelia memiliki angka harapan hidup yang relatif lebih rendah dibanding anak normal.
“Angka harapan hidup anak CdLS relatif lebih rendah dibanding anak normal. Namun, dengan pengobatan dan kolaborasi yang baik dari lintas sektor harapan hidup itu bisa meningkat,” kata Wamenkes.
Wamenkes Dante menambahkan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menjalin kerja sama dengan YSCI untuk melakukan beberapa program penyediaaan akses pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi anak dengan Sindrom Cornelia.
Sindrom Cornelia de Lange ditandai dengan pertumbuhan yang lambat sebelum dan sesudah lahir yang menyebabkan perawakan pendek, disabilitas intelektual yang biasanya sedang hingga berat, dan kelainan tulang pada lengan, tangan, dan jari.
Kebanyakan pengidap sindrom Cornelia de Lange juga memiliki ciri wajah yang khas seperti:
– Alis tebal melengkung yang sering bertemu di tengah (synophrys)
-Bulu mata panjang
– Telinga renda
– Gigi kecil dan berjarak lebar
– Hidung kecil dan terbalik
Banyak individu yang terkena juga memiliki masalah perilaku yang mirip dengan autisme, yakni suatu kondisi perkembangan yang mempengaruhi komunikasi dan interaksi sosial.
Tanda dan gejala tambahan dari sindrom Cornelia dapat mencakup rambut tubuh yang berlebihan (hipertrikosis), kepala yang sangat kecil (mikrosefali), gangguan pendengaran, dan masalah dengan saluran pencernaan.
Beberapa orang dengan kondisi ini dilahirkan dengan lubang di langit-langit mulut yang disebut langit-langit mulut sumbing.